Perenialisme berasal dari kata perenial yang berarti continuing throughout the whole year atau
lasting for a very long time, yakni abadi atau kekal yang terus ada tanpa
akhir. Dalam pengertiannya secara umum, tradisi dipandang sebagai
prinsip-prinsip yang abadi yang terus mengalir sepanjang sejarah manusia,
karena ia adalah anugerah Tuhan pada semua manusia dan memang merupakan hakikat
insaniah manusia.
Karena esensi aliran ini berupaya menerapkan
nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat kekal dan abadi yang selalu seperti
itu sepanjang sejarah manusia, maka perenialisme dianggap sebagai suatu aliran
yang ingin kembali atau mundur kepada nilai-nilai kebudayaan masa lampau yang berarti
bukanlah bernostalgia dan sekadar mengingat kembali pola kehidupan masa lalu,
tetapi untuk membina kembali keyakinan akan nilai-nilai asasi masa silam untuk
menghadapi problematika kehidupan manusia saat sekarang dan bahkan sampai kapan
pun dan dimana pun.
Perenialisme berarti segala sesuatu yang ada sepanjang
sejarah manusia, meihat bahwa tradisi perkembangan intelektual yang ada pada
zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan yang telah terbukti dapat memberikan
solusi bagi berbagai problem kehidupan masyarakat perlu digunakan dan
diterapkan dalam menghadapi alam modern yang sarat dengan problem kehidupan.
Kondisi dunia modern yang sangat mengandalkan
rasionalitas empiris-positivistis yang memandang kebenaran dalam konteksnya
yang serba terukur, teramati dan teruji secara inferensial dan yang melihat
realitas sebagai sesuatu yang serba materi, telah pula memunculkan berbagai
problem kemanusiaan, seperti memunculnya sikap ambivalensi yang mencekam dan
akan mendatangkan kebingungan, kebimbangan, kekakuan, kecemasan, ketakutan,
dalam bertingkah laku, sehingga manusia hidup dalam ketidakmenentuan dan
cenderung kehilangan arah dan jati dirinya. Pengabaian berpikir logis
memunculkan ketidakmampuan manusia melihat pengetahuan yang sebenarnya. Hal ini
mengingat corak kehidupan yang serba rasional bertujuan dengan landasan
empiris-positivistis yang melihat realitas dunia serba objektif dimana
kebenaran ilmu berangkat dari fakta-fakta yang terverivikasi dan terukur secara
ketat, dan menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai orientasi
kehidupan.
Kondisi dunia yang terganggu oleh budaya yang tak
menentu, yang berada dalam kebingungan dan kekacauan seperti diungkap diatas,
memerlukan usaha serius untuk menyelamatkan manusia dari kondisi yang mencekam
dengan mencari dan menemukan orientasi dan tujuan yang jelas, dan ini sebagai
tugas utama filsafat pendidikan. Prenialis dalam hal ini mengambil jalan
regresif dengan mengembalikan arahnya seperti yang menjadi prinsip dasar
perilaku yang dianut pada masa kuno dan abad pertengahan.
Perenialisme secara filosofi memiliki dasar pemikiran
yang melekat pada aliran filsafat klasik yang ditokohi oleh Plato, Aristoteles,
Augustinus, dan Aquinas; namun menurut Aayyed Husein Nasr, istiah filsafat
perenial ini pertama kali digunakan oleh Augustinus (1497-1548) dalam sebuah
karyanya yang berjudul De Perennia Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540
M. Perenialisme dalam konteks pendidikan ditokohi oleh Robert Maynard Hutchins,
Mortimer J. Adler, dan Sir Ricard Livingstone.
Prinsip mendasar Perenialis kemudian dikembangkan pula
oleh Sayyed Husein Nasr, seorang filsuf Islam Kontemporer, yang mengatakan
bahwa manusia memiliki fitrah yang sama yang berpangkal pada asal kejadiannya
yang fitri yang memiliki konsekuensi logis pada watak kesucian dan kebaikan.
Sifatnya tidak berubah karena prinsip-prinsipnya engandung kontinuitas dalam
setiap ruang dan waktu. Menurutnya, tradisi yang mengisyaratkan kebenaran yang
fitri bersifat langgeng, tetap, abadi, dan berkesinambungan, sifatnya tidak
akan lenyap bersamaan dengan lenyapnya waktu. Perenialisme dalam konteks Sayyed
Husein Nasr terlihat hendak mengembalikan kesadaran manusia akan hakikatnya
yang fitri yang akan membuatnya berwatak kesucian dan kebaikan.
Dalam perjalanan sejarahnya, perenialisme berkembang
dalam dua sayap yang berbeda, yaitu dari golongan teologis yang ingin
menegakkan supremasi ajaran agama, dan dari kelompok yang skuler yang berpegang
teguh dengan ajaran filsafat Plato dan Aristoteles.
2.2
Landasan Filosofis Perenialisme
Sebagaimana pada perkembangan
pemikiran filsafat umumnya, dasar pemikiran filsafat perenialisme ini pun
terlihat dari keyakinan ontologis mereka tentang manusia dan alam. Bagi mereka,
sistem gerak perkembangan manusia memiliki hukum natural yang bersifat tetap
dan teratur menurut hukum-hukumnya yang jelas dan terarah. Aliran ini memandang
bahwa hakikat manusia sebagai makhluk rasional yang akan selalu sama bagi
setiap manusia dimanapun dan sampai kapan pun dalam pengembangan
historistasnya. Keyakinan ontologis sedemikian, membawa mereka pada suatu
pemikiran bahwa kemajuan dan keharmonisan yang dialami oleh manusia di suatu
masa akan dapat pula diterapkan pada manusia-manusia lain pada masa dan tempat
yang berbeda, sehingga kesuksesan masa lalu dapat pula diterapkan untuk
memecahkan problem masa sekarang dan akan datang bahkan sampai kapanpun dan di
manapun.
Menurut psikologi Plato,
manusia pada hakikatnya memiliki tiga potensi dasar yaitu nafsu, kemauan, dan
pikiran. Ketiga potensi ini merupakan asas bagi bangunan kepribadian dan watak
manusia. Ketiga potensi ini akan tumbuh berkembang melalui pendidikan. Sehingga
ketiganya berjalan seimbang dan harmonis. Manusia yang memiliki potensi rasio
yang besar akan manusia kelas pemimpin, kelas sosial yang tinggi. Manusia yang
besar potensi kemauannya, akan menjadi manusia-manusia prajurit, kelas
menengah. Sedangkan manusia yang besar potensi nafsunya akan menjadi
manusia-manusia pekerja, kelas rakyat jelata. Pendidikan dalam hal ini,
hendaklah berorientasi pada potensi psikologis dan masyarakat, sehingga dapat
mewujudkan pemenuhan kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
Hal yang senada juga diungkap oleh
Aristoteles dengan mengatakan, bahwa kebahagiaan hidup sebagai tujuan
pendidikan itu sendiri dapat terealisasi jika ketiga komponen potensi dasarnya terdidik
dan berkembang secara seimbang. Harmonisasi fungsionalitas tiga potensi dasar
manusia dalam aktivitasnya merupakan kunci bagi pengembangan kualitas humanitas
manusia dalam kehidupannya. Aliran ini berpendapat bahwa rasionalitas adalah
hokum pertama yang akan tetap benar di segala zaman dan tempat. Dengan prinsip
rasionalitas ini pula perenialisme berhadapan dengan persoalan adanya prinsip
kesadaran dan kebebasan dalam gerak kehidupan manusia. Pendidikan dalam teori
ini dimaknai sebagai suatu aktivitas yang mengaksestuansikan programnya pada
perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan.
Menurut Mortimer J. Adler sebagai salah seorang
pendukung perenialisme ini mengatakan, bahwa jika seorang manusia adalah
makhluk rasional yang merupakan hakikat yang senantiasa seperti itu di
sepanjang sejarahnya. Menurut Sayyed Husein Nasr, bahwa karakteristik khusus
manusia tidak lain adalah rasionalitas. Rasionalitas ini merupakan sifat
manusia yang hakiki. Maka aliran ini berpendapat bahwa sesungguhnya
sesungguhnya ilmu pengetahuan sebagai produk dan prestasi manusia di manapun
dan kapanpun selalu akan sama, karena bersumber dari hakiki yang sama. Mortimer
J. Adler mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang memiliki kemampuan
intelektual yang tampak dalam kapasitasnya sebagai subjek yang aktif dan dapat
melakukan tindakan-tindakan seni, membaca dan mendengar, menulis dan berbicara
serta berpikir, kecuali itu, mengingat manusia adalah makhluk sosial, maka
kehidupan intelektualnya juga hidup di tengah-tengah komunitas yang akan
menjadi eksis melalui komunikasi. Aristoteles sebagai salah satu tokoh yang
menjadi rujukan aliran ini menekankan, bahwa melatih dan membiasakan diri
merupakan hal yang mendasar bagi pengembangan kualitas manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar