Senin, 11 Desember 2017

Perenialisme dalam Pengertian dan Sejarah


Perenialisme berasal dari kata perenial yang berarti continuing throughout the whole year atau lasting for a very long time, yakni abadi atau kekal yang terus ada tanpa akhir. Dalam pengertiannya secara umum, tradisi dipandang sebagai prinsip-prinsip yang abadi yang terus mengalir sepanjang sejarah manusia, karena ia adalah anugerah Tuhan pada semua manusia dan memang merupakan hakikat insaniah manusia.
Karena esensi aliran ini berupaya menerapkan nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat kekal dan abadi yang selalu seperti itu sepanjang sejarah manusia, maka perenialisme dianggap sebagai suatu aliran yang ingin kembali atau mundur kepada nilai-nilai kebudayaan masa lampau yang berarti bukanlah bernostalgia dan sekadar mengingat kembali pola kehidupan masa lalu, tetapi untuk membina kembali keyakinan akan nilai-nilai asasi masa silam untuk menghadapi problematika kehidupan manusia saat sekarang dan bahkan sampai kapan pun dan dimana pun.
Perenialisme berarti segala sesuatu yang ada sepanjang sejarah manusia, meihat bahwa tradisi perkembangan intelektual yang ada pada zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan yang telah terbukti dapat memberikan solusi bagi berbagai problem kehidupan masyarakat perlu digunakan dan diterapkan dalam menghadapi alam modern yang sarat dengan problem kehidupan.
Kondisi dunia modern yang sangat mengandalkan rasionalitas empiris-positivistis yang memandang kebenaran dalam konteksnya yang serba terukur, teramati dan teruji secara inferensial dan yang melihat realitas sebagai sesuatu yang serba materi, telah pula memunculkan berbagai problem kemanusiaan, seperti memunculnya sikap ambivalensi yang mencekam dan akan mendatangkan kebingungan, kebimbangan, kekakuan, kecemasan, ketakutan, dalam bertingkah laku, sehingga manusia hidup dalam ketidakmenentuan dan cenderung kehilangan arah dan jati dirinya. Pengabaian berpikir logis memunculkan ketidakmampuan manusia melihat pengetahuan yang sebenarnya. Hal ini mengingat corak kehidupan yang serba rasional bertujuan dengan landasan empiris-positivistis yang melihat realitas dunia serba objektif dimana kebenaran ilmu berangkat dari fakta-fakta yang terverivikasi dan terukur secara ketat, dan menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai orientasi kehidupan.
Kondisi dunia yang terganggu oleh budaya yang tak menentu, yang berada dalam kebingungan dan kekacauan seperti diungkap diatas, memerlukan usaha serius untuk menyelamatkan manusia dari kondisi yang mencekam dengan mencari dan menemukan orientasi dan tujuan yang jelas, dan ini sebagai tugas utama filsafat pendidikan. Prenialis dalam hal ini mengambil jalan regresif dengan mengembalikan arahnya seperti yang menjadi prinsip dasar perilaku yang dianut pada masa kuno dan abad pertengahan.
Perenialisme secara filosofi memiliki dasar pemikiran yang melekat pada aliran filsafat klasik yang ditokohi oleh Plato, Aristoteles, Augustinus, dan Aquinas; namun menurut Aayyed Husein Nasr, istiah filsafat perenial ini pertama kali digunakan oleh Augustinus (1497-1548) dalam sebuah karyanya yang berjudul De Perennia Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540 M. Perenialisme dalam konteks pendidikan ditokohi oleh Robert Maynard Hutchins, Mortimer J. Adler, dan Sir Ricard Livingstone.
Prinsip mendasar Perenialis kemudian dikembangkan pula oleh Sayyed Husein Nasr, seorang filsuf Islam Kontemporer, yang mengatakan bahwa manusia memiliki fitrah yang sama yang berpangkal pada asal kejadiannya yang fitri yang memiliki konsekuensi logis pada watak kesucian dan kebaikan. Sifatnya tidak berubah karena prinsip-prinsipnya engandung kontinuitas dalam setiap ruang dan waktu. Menurutnya, tradisi yang mengisyaratkan kebenaran yang fitri bersifat langgeng, tetap, abadi, dan berkesinambungan, sifatnya tidak akan lenyap bersamaan dengan lenyapnya waktu. Perenialisme dalam konteks Sayyed Husein Nasr terlihat hendak mengembalikan kesadaran manusia akan hakikatnya yang fitri yang akan membuatnya berwatak kesucian dan kebaikan.
Dalam perjalanan sejarahnya, perenialisme berkembang dalam dua sayap yang berbeda, yaitu dari golongan teologis yang ingin menegakkan supremasi ajaran agama, dan dari kelompok yang skuler yang berpegang teguh dengan ajaran filsafat Plato dan Aristoteles.
2.2 Landasan Filosofis Perenialisme
            Sebagaimana pada perkembangan pemikiran filsafat umumnya, dasar pemikiran filsafat perenialisme ini pun terlihat dari keyakinan ontologis mereka tentang manusia dan alam. Bagi mereka, sistem gerak perkembangan manusia memiliki hukum natural yang bersifat tetap dan teratur menurut hukum-hukumnya yang jelas dan terarah. Aliran ini memandang bahwa hakikat manusia sebagai makhluk rasional yang akan selalu sama bagi setiap manusia dimanapun dan sampai kapan pun dalam pengembangan historistasnya. Keyakinan ontologis sedemikian, membawa mereka pada suatu pemikiran bahwa kemajuan dan keharmonisan yang dialami oleh manusia di suatu masa akan dapat pula diterapkan pada manusia-manusia lain pada masa dan tempat yang berbeda, sehingga kesuksesan masa lalu dapat pula diterapkan untuk memecahkan problem masa sekarang dan akan datang bahkan sampai kapanpun dan di manapun.
                        Menurut psikologi Plato, manusia pada hakikatnya memiliki tiga potensi dasar yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Ketiga potensi ini merupakan asas bagi bangunan kepribadian dan watak manusia. Ketiga potensi ini akan tumbuh berkembang melalui pendidikan. Sehingga ketiganya berjalan seimbang dan harmonis. Manusia yang memiliki potensi rasio yang besar akan manusia kelas pemimpin, kelas sosial yang tinggi. Manusia yang besar potensi kemauannya, akan menjadi manusia-manusia prajurit, kelas menengah. Sedangkan manusia yang besar potensi nafsunya akan menjadi manusia-manusia pekerja, kelas rakyat jelata. Pendidikan dalam hal ini, hendaklah berorientasi pada potensi psikologis dan masyarakat, sehingga dapat mewujudkan pemenuhan kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
            Hal yang senada juga diungkap oleh Aristoteles dengan mengatakan, bahwa kebahagiaan hidup sebagai tujuan pendidikan itu sendiri dapat terealisasi jika ketiga komponen potensi dasarnya terdidik dan berkembang secara seimbang. Harmonisasi fungsionalitas tiga potensi dasar manusia dalam aktivitasnya merupakan kunci bagi pengembangan kualitas humanitas manusia dalam kehidupannya. Aliran ini berpendapat bahwa rasionalitas adalah hokum pertama yang akan tetap benar di segala zaman dan tempat. Dengan prinsip rasionalitas ini pula perenialisme berhadapan dengan persoalan adanya prinsip kesadaran dan kebebasan dalam gerak kehidupan manusia. Pendidikan dalam teori ini dimaknai sebagai suatu aktivitas yang mengaksestuansikan programnya pada perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan.

Menurut Mortimer J. Adler sebagai salah seorang pendukung perenialisme ini mengatakan, bahwa jika seorang manusia adalah makhluk rasional yang merupakan hakikat yang senantiasa seperti itu di sepanjang sejarahnya. Menurut Sayyed Husein Nasr, bahwa karakteristik khusus manusia tidak lain adalah rasionalitas. Rasionalitas ini merupakan sifat manusia yang hakiki. Maka aliran ini berpendapat bahwa sesungguhnya sesungguhnya ilmu pengetahuan sebagai produk dan prestasi manusia di manapun dan kapanpun selalu akan sama, karena bersumber dari hakiki yang sama. Mortimer J. Adler mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang memiliki kemampuan intelektual yang tampak dalam kapasitasnya sebagai subjek yang aktif dan dapat melakukan tindakan-tindakan seni, membaca dan mendengar, menulis dan berbicara serta berpikir, kecuali itu, mengingat manusia adalah makhluk sosial, maka kehidupan intelektualnya juga hidup di tengah-tengah komunitas yang akan menjadi eksis melalui komunikasi. Aristoteles sebagai salah satu tokoh yang menjadi rujukan aliran ini menekankan, bahwa melatih dan membiasakan diri merupakan hal yang mendasar bagi pengembangan kualitas manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar