Senin, 11 Desember 2017

Teori Konflik


Sejarah Kelahiran Teori sebagai Kritis terhadap FS
Teori kritis muncul tahun 1920-an dalam suatu kelompok intelektual yang berpusat di Lembaga Penelitian Sosial di Universitas Frankfurt, Jerman. Beberapa tokoh terkemuka dari aliran Frankfurt pada waktu itu antara lain Horkheimer, Ardono, Marcuse, dan From. Pertumbuhan ideologi fasis memberikan latar belakang historis yang langsung dalam pertengahan 1930-an ancaman Nazi berhasil memperkeruh lembaga penelitian sosial itu dan banyak anggotanya lari ke Amerika, namun pada akhirnya beberapa diantaranya kembali dan menghidupkan kembali lembaga itu. Para anggota aliran Frankfurt di tahun 1930-an mengalami bangkitnya Nazisme yang menekan kaum intelektual dan ancamam ini merangsang minat yang kuat di kalangan pengkritik sosial beraliran Marxis dan pembebasan manusia. Naumun di pertengahan kedua tahun 1960-an, pengaruh teori kritis terhadap sosiologi di Amerika semakin besar, wawasan dan perspektif teori kritis disatukan dengan berbagai kerangka “kiri baru” (new left) atau kerangka sosiologi radikal.   Gelombang minat di kalangan para ahli sosiologi Amerika sejak pertengahan tahun 1960-an terhadap perspektif teoritis kritis dapat dengan mudah dihubungkan denganberbagai gerakan protes dan kerusuhan sosial yang meluas yang meledak di Amerika selama tahun-tahun ini. Gerakan protes ini mula-mula dihubungkan dengan perjuangan hak warga dan kemudian dengan oposisi terhadap perang Vietnam. Akhirnya isu-isu sosiopolitis diperluas yang mencakup penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka di pemerintahan dan posisi-posisi otoritas instruksional lainnya, birokratisasi yang terlampau berlebih, serta tidak tanggapnya institusi birokrasi terhadap kebutuhan manusia.
Dari sejarah diatas, Teori konflik Dahrendorf muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik dalam masyarakat. Teori Konflik adalah suatu perspektif yang memandang masyarakat sebagai sistem sosial yang terdiri atas kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dimana ada suatu usaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingan lainnya.         Lahirnya konflik terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan, sebab setiap orang memiliki kepentingan dasar sendiri-sendiri. Dalam hal ini setiap orang akan berjuang dengan keras untuk memperoleh atau terpenuhi keinginan. Dalam hal ini kekuasaan menjadi sumber utama konflik (perebutan/ kompetisi memperoleh kekuasaan) dan juga memiliki sifat memaksa (koersif). Karena tidak selamanya masyarakat bergantung satu sama lain dan bekerjasama untuk menciptakan keseimbangan sosial seperti dalam teori fungsional structural.

Teori Konflik serta Pemikiran Marx dan Weber
Ralf dahrendort  :
Menurutnya, Konflik merupakan kreasi individu yang penting dalam masyarakat. Masyarakat berkecenderungan untuk berkonflik agar perubahan sosial bisa terjadi, yaitu melalui kekuasaan yang dimiliki untuk mengendalikan orang lain dan memaksa kemauannya meskipun itu ditentang. Selanjutnya Dahrendorf juga menekankan analisis konflik antara yang memiliki otoritas dan yang tidak memiliki (diatur). Setiap posisi (pekerjaan) membutuhkan kemampuan yang berbeda-beda dan  Setiap posisi (pekerjaan) mendapatkan reward yang berbeda-beda pula.
Lewis Coser
Menurut teori Coser, Konflik tidak saja mengarah kepada perubahan sosial tapi juga mempererat integrasi sosial. Coser berusaha memahami berbagai segi positif dari konflik selain dampak perubahan sosialnya bagi keberlangsungan suatu masyarakat. Mengikuti Simmel, konflik terjadi pada level interaksi sosial antar individu (yang kemudian berkembang di level struktural). Konflik diawali atau terjadi ketika ada hubungan yang intens antar individu atau kelompok
Randall Collins
Konflik sosial berpusat pada perebutan dan pertemuan ‘kepentingan’ yang disertai dengan ‘paksaan’ (kekerasan) dari yang berkuasa kepada yang dikuasai. Teori Collins juga menekankan pada stratifikasi sosial yang meliputi: kekayaan, politik, karir/pekerjaan, keluarga, kelompok asosiasi, komunitas, gaya hidup, agama dan lainnya. Analisis Stratifikasi Sosial Collins diarahkan pada ranah individual yaitu posisi dalam stratifikasi mempengaruhi emosi, cara berpikir, gaya hidup, kebiasaan, juga kepentingan.

Dari ketiga tokoh teori konflik diatas dapat dianalisis menurut mereka penyebab konflik karena perbedaan kepentingan dalam suatu individu atau kelompok, yang dimana konflik terjadi karena perbedaan status atau kekuasaan yang dimiliki. Biasanya orang yang memiliki status lebih tinggi akan berkuasa dibanding orang yang status dan kekuasaannya rendah. Kekuasaan yang dimiliki digunakan untuk mengendalikan orang lain dan memaksa kemauannya ( teori Dahrendort  dan Collins) dan menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial, Seperti dalam pemikiran Marx yang dimana Dia melihat relasi kelas(status) dalam masyarakat kapitalis, yaitu antar kelas Borjuis dan Proletan. Terdapat juga dengan pemikiran Weber yang dimana konflik terjadi karena perbedaan kepentingan pribadi. Kepentingan berkaitan erat dengan Kekuasaan yang dibutuhkan untuk memenuhinya. Weber juga menekankan pada Stratifikasi Sosial dibangun berdasar berbagai aspek sosial seperti Agama, Politik dll
Asumsi Dasar
Teori konflik terjadi karena dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx. Pada saat ituteori Marx mengenai masyarakat kelas dan perjuangannya, yaitu terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, yang dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan. Teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.
Dalam pandangan Weber  konflik terjadi dalam memperebutkan sumber daya ekonomi merupakan ciri dasar kehidupan sosial. Tetapi disisi lain terdapat juga tipe-tipe konflik menurut Weber, seperti :
1.       konflik dalam arena politik sebagai sesuatu yang sangat fundamental. Baginya kehidupan sosial dalam kadar tertentu merupakan pertentangan untuk memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh sebagian individu dan kelompok tertentu terhadap yang lain dan dia tidak menganggap pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Sebaliknya Weber melihat dalam kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Lebih jelasnya Weber melihat dalam kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan itu sendiri. ia berpendapat bahwa pertentangan untuk memperoleh kekuasaan tidaklah terbatas hanya pada organisasi- organisasi politik formal, tetapi juga terjadi di dalam setiap tipe kelompok seperti organisasi keagamaan dan pendidikan.
2.       konflik dalam hal gagasan dan cita-cita.Ia berpendapat bahwa orang seringkali tertantang untuk memperoleh dominasi dalam hal pandangan dunia terbuka, baik itu berupa doktrin keagamaan, filsafat sosial ataupun konsepsi tentang bentuk gaya hidup kultual yang terbaik. Lebih dari itu, gagasan cita-cita tersebut bukan hanya dipertentangkan, tetapi dijadikan senjata atau alat dalam pertentangan lainnya, misalnya pertentangan politik. Jadi orang dapat berkelahi untuk memperoleh kekuasaan dan pada saat yang sama, berusaha saling meyakinkan satu sama lain bahwa bukan kekuasaan itu yang mereka tuju tetapi kemenangan prinsip-prinsip yang secara etis dan filosofis benar.
Dalam hal ini perbedaan antara Marx dan Weber adalah Marx berpendapat bahwa konflik disebabkan adanya pertentangan antar kelas dan Weber berpendapat bahwa konflik terjadi karena sudah sewajarnya dalam kehidupan bermasyarakat pasti akan terjadi masalah-masalah
Isi Teori
Masyarakat sebagai arena dimana masing-masing kelompok bertarung/ berkompetisi mendapatkan kekuasaan, ketenangan sosial terjadi ketika satu kelompok berhasil menguasai kelompok-kelompok yang lain secara temporer. Konflik lebihmenekankan pada ‘Pergantian Kekuasaan’diantara kelompok-kelompok yang saling bersaing, dan terciptanya perubahan sosial. Konflik kelas masyarakat modern biasanya terjadi karena perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok. Kepentingan-kepentingan tersebut seperti dalam perebutan kekuasaan, kehormatan dan lain-lain.Konflik di era modern ini biasanya terjadi dalam masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas bawah, seperti dalam teori konflik Marx, yang dimana orang kelas atas akan lebih berkuasa dibandingkan orang kelas bawah.
Dalam teori Ralf Dahrendorf, dia membangun teori konflik dengan menggunakan teori perjuangan kelas Marxian pada masyarakat industry kontemporer. Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa kepemilikan atas sarana-sarana produksi seperti yang diungkapkan Marx bukan menjadi kepemilikan kekuasaan untuk menguasai orang lain. Perjuangan kelas dalam masyarakat modern baik dalam masyarakat perekonomian kapitalis maupun komunis dalam pemerintahan bebas dan totaliter, berada pada pengendalian kekuasaan. Dahrendorf melihat kelompok-kelompok pertentangan sebagai kelompok yang lahir dari kepentingan-kepentingan bersama para individu yang mampu berorganisasi. Yang diuraikan Dahrendorf sebagai proses perubahan kelompok semu menuju kelompok kepentingan yang mampu memberi dampak pada struktur. Lembaga-lembaga yang terbentuk dari kelompok tadi berubah menjadi sarana perubahan yang ada.
Menurut Dahrendorf, Konflik merupakan kreasi individu yang penting dalam masyarakat. Masyarakat berkecenderungan untuk berkonflik agar perubahan sosial bisa terjadi, yaitu melalui kekuasaan yang dimiliki untuk mengendalikan orang lain dan memaksa kemauannya meskipun itu ditentang. Selanjutnya Dahrendorf juga menekankan analisis konflik antara yang memiliki otoritas dan yang tidak memiliki (diatur). Setiap posisi (pekerjaan) membutuhkan kemampuan yang berbeda-beda dan  Setiap posisi (pekerjaan) mendapatkan reward yang berbeda-beda pula.

Namun dalam teori Coser, ia berpendapat bahwa fungsi positif dari konflik dalam meningkatkan integrasi sosial antar kelompok ataupun individu. Konflik antara kelompok meningkatkan solidaritas internal dalam kelompok-kelompok yang berkonflik itu. Konflik di dalam kelompok mencegah antagonisme yang tidak dapat dihindari yang menandai semua hubungan sosial, dari menumpuknya sampai pada stu titik dimana hubungan itu sendiri menjadi terancam       
Dalam teorinya, Dahrendorf menyatakan bahwa ada dasar baru bagi pembetukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi Marx sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas. Terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok, sedang yang lain tidak, beberapa orang memiliki kekuasaan sedang yang lain tidak. Dahrendorf (1959: 173) mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dalam tingkat dominasi itu dapat dan selalu sangat besar. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas sosial (dalam perkumpulan khusus) yaitu, mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan. Perjuangan kelas yang dibahas Dahrendorf lebih berdasarkan kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana produksi. Dalam masyarakat industri modern pemilik sarana produksi tidak sepenting mereka yang melaksanakan pengendalian atas sarana itu. Dahrendorf menegaskan bahwa teori konfliknya merupakan model pluralistis yang berbeda dengan model dua-kelas yang sederhana dari Marx. Marx menggunakan seluruh masyarakat sebagai unit analisa dengan orang-orang yang mengendalikan sarana produksi lewat pemilikan sarana tersebut atau orang yang tidak ikut dalam pemilikan yang demikian. Manusia dibagi ke dalam kelompok yang punya dan yang tidak punya. Dalam menggantikan hubungan-hubungan kekayaan dengan hubungan kekuasaan sebagai inti dari teori kelas, Dahrendorf (1959: 213) menyatakan bahwa model dua kelas ini tidak dapat diterapkan pada masyarakat secara keseluruhan tetapi hanya pada asosiasi-asosiasi tertentu yang ada dalam suatu masyarakat.
  Dahrendorf berpendapat bahwa kekayaan, status ekonomi, dan status sosial, walau bukan merupakan determinian kelas, demikian menurut istilah yang ia pergunakan benar-benar dapat memperngaruhi intensitas pertentangan. Ia mengetengahkan proposisi berikut ini: “semakin  rendah korelasi antara kedudukan keuasaan dan aspek-aspek status sosial ekonomi lainnya, semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan sebaliknya” (1959: 218). Dengan perkataan lain, kelompok-kelompok yang menikmati status ekonomi relatif tinggi memiliki kemungkinan yang rendah untuk terlibat dalam konflik yang keras dengan struktur kekuasaan daripada mereka yang terbuang dari status sosial ekonomi dan kekuasaan.
  Menurut pandangan Dahrendorf dan Coser dalam kehidupan masyarakat, konflik itu tidak dapat dihilangkan, sebab konflik tersebut berfungsi dalam perkembangan dan perubahan struktur sosial. Coser juga mengatakan bahwa konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur social. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain akan memperkuat identitas kelopok dan melindunginya agar tidak lebur kedalam dunia social sekelilingnya
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua yaitu:

1.      Realistik: Konflik digunakan untuk mendapatkan atau memenuhi kepentingan tertentu
2.      Non-Realistik: Konflik hanya sebagai media melepas ketegangan (mencari kambing hitam)

 Dalam teori Collins, Konflik sosial berpusat pada perebutan dan pertemuan ‘kepentingan’ yang disertai dengan ‘paksaan’ (kekerasan) dari yang berkuasa kepada yang dikuasai. Teori Collins juga menekankan pada stratifikasi sosial yang meliputi: kekayaan, politik, karir/pekerjaan, keluarga, kelompok asosiasi, komunitas, gaya hidup, agama dan lainnya. Analisis Stratifikasi Sosial Collins diarahkan pada ranah individual yaitu posisi dalam stratifikasi mempengaruhi emosi, cara berpikir, gaya hidup, kebiasaan, juga kepentingan.

Kelemahan/Kritik terhadap Teori
            Kritik pertama mengenai teori Dahrendorf yang dimana Dahrendorf tidak sama jelasnya dengan refleksi ata ide-ide Marxis seperti yang dia nyatakan dan teori konflik lebih banyak persamaannya dengan fungsionalisme struktural daripada dengan teori Marxian. Kemudian teori konflik hampir seluruhnya bersifat makroskopik. Penekanan Dahrendorf pada hal-hal seperti sistem-sistem, posisi-posisi dan peran-peran menghubungkannya secara langsung dengan fungsionalisme struktural. Selanjutnya, teori konflik tampak menderita karena banyak masalah konseptual dan logis yang sama (contohnya, konsep-konsep yang kabur, tautologi-tautologi) seperti fungsionalisme structural. Teori konflik juga di kritik karena mnegabaikan ketertiban dan stabilitas serta berideologi radikal.       
Menurut Dahrendorf, Apabila kita tertarik pada konflik, kita dapat menggunakan konflik, apabila kita ingin meneliti ketertiban, kita harus mengambil perspektif fungsional. Akan tetapi pendirian ini tidak memuaskan karena ada tuntunan yang sangat besar terhadap prespektif teori yang menerangkan  konflik dan menerapkan ketertiban. Adapun karya yang paling dalam pengintegrasian yaitu Lewis Coser tentang fungsi konflik sosial yang menyatakan bahwa konflik membantu mempererat kelompok masyarakat dan memperbaiki perpaduan integrasi. Namun dalam hal ini teori Dahrendorf, ia lebih melihat pada perubahan dari pada keseimbangan, dan mengungkapkan bahwa teori konflik berskala luas yang paralel dengan teori dengan teori ketertiban berskala luas dari teori fungsional structural.
Dalam kehidupan sosial, Sosiologi harus mampu menjelaskan ketertiban , konflik, struktur dan perubahan. Hal itu telah memotivasi beberapa usaha untuk merukunkan teori konflik dan fungsional. Teori harus bisa  mengarah pada beberapa kesepakatan di kalangan sosiolog bahwa yang diperlukan adalah suatu teori yang menjelaskan konsensus dan juga pertikaian. Tidak semua konflik menyebabkan perpecahan, namun konflik juga dapat menimbulkan integrasi dalam sebuah kelompok, seperti dalam teori coser, dan dahrendorf, misalnya, melihat mereka sebagai perspektif alternatif yang digunakan secara situasional. Menurut Dahrendorf, ketika kita berminat pada konflik, kita harus menggunakan teori konflik; ketika kita ingin memeriksa ketertiban, kita harus mengambil perspektif fungsional.
Kritik atas teori konflik dan fungsionalisme structural , maupun keterbatasan yang melekat pada keduanya, memunculkan berbagai upaya untuk mengatasi masalah – masalah tersebut dengan merekonsiliasikan atau mengintegrasikan kedua teori (Bailey, 1997: Chapin, 1994: van den Berghe, 1963: Himes, 1966).  Selain menyeraang teori – teori Marxian, mazhab kritis mengkritik masyarakat, seperti bekas Uni soviet, yang dibangun diatas teori Marxian yang terkesan asli (Marcuse, 1958). Dari perspektif teoritis, ada kemungkinan memadukan teori konflik dengan fungsionalisme dengan cara melihat fungsi konflik sosial. Memang, harus diakui bahwa konflik pun mengandung disfungsi.
Relevansi Teori dan analisis masyarakat kontemporer
Relevansi teori konflik dapat dilihat pada peserta didik atau siswa. Yang dimana peserta didik atau siswa dalam mengikuti pelajaran di dalam kelas, ternyata terdapat konflik batin atau konflik yang tidak terlihat. Dalam pelajaran peserta didik berusaha mencuri perhatian guru untuk mendapatkan nilai yang terbaik dalam pelajaran tersebut. Dalam hal ini biasanya peserta didik berebut melakukan hal-hal yang membuat guru tersebut kagum kepadanya, seperti dengan menyelesaikan soal yang diberikan guru di papan tulis dan aktif dalam mengikuti pelajaran. Konflik ini biasanya terjadi di dalam kelas tetapi ada usaha-usada untuk menjadi yang terbaik.  Dalam mengerjakan soal-soal ujian setiapun peserta didik sebenarnya juga sedang berkonflik dengan temannya sendiri dalam kelas yang bertujuan untuk mendapatkan nilai yang terbaik dalam ujian. Namun konflik disini bukan konflik yang menimbulkan perpecahan, namun konflik ini termasuk  indikator hubungan yang sehat karena konflik yang terjadi dalam lingkup in-group (Lewis Coser)
            Bentuk konflik lain terjadi di dalam kalangan perangkat desa, terutama dalam pemilihan perangkat, seperti kepala desa, yang dimana para calon secara tidak langung terlibat konflik dalam mendapatkan suara terbanyak. Tidak jarang konflik ini bisa benar-benar muncul kepermukaan seperti saling memperlihatkan keunggulan atau kekuasaan dan janji-janji yang dia miliki, biasanya berupa kampaye kecil-kecilan untuk mempengaruhi banyak orang agar percaya terhadapnya dan memilihnya. Konflik semakin terlihat jika ada salah satu calon yang melakukan kecurangan dalam kampanye nya, seperti melakukan politik uang atau kampanye hitam untuk memperbanyak personil atau anggota dalam pemilihannya, agar nantinya orang tersebut memenangkan pemilihan kepala desa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar