Sejarah Kelahiran Teori sebagai
Kritis terhadap FS
Teori kritis muncul tahun 1920-an
dalam suatu kelompok intelektual yang berpusat di Lembaga Penelitian Sosial di
Universitas Frankfurt, Jerman. Beberapa tokoh terkemuka dari aliran Frankfurt
pada waktu itu antara lain Horkheimer, Ardono, Marcuse, dan From. Pertumbuhan
ideologi fasis memberikan latar belakang historis yang langsung dalam
pertengahan 1930-an ancaman Nazi berhasil memperkeruh lembaga penelitian sosial
itu dan banyak anggotanya lari ke Amerika, namun pada akhirnya beberapa
diantaranya kembali dan menghidupkan kembali lembaga itu. Para anggota aliran
Frankfurt di tahun 1930-an mengalami bangkitnya Nazisme yang menekan kaum
intelektual dan ancamam ini merangsang minat yang kuat di kalangan pengkritik
sosial beraliran Marxis dan pembebasan manusia. Naumun di pertengahan kedua
tahun 1960-an, pengaruh teori kritis terhadap sosiologi di Amerika semakin
besar, wawasan dan perspektif teori kritis disatukan dengan berbagai kerangka
“kiri baru” (new left) atau kerangka sosiologi radikal. Gelombang
minat di kalangan para ahli sosiologi Amerika sejak pertengahan tahun 1960-an
terhadap perspektif teoritis kritis dapat dengan mudah dihubungkan
denganberbagai gerakan protes dan kerusuhan sosial yang meluas yang meledak di
Amerika selama tahun-tahun ini. Gerakan protes ini mula-mula dihubungkan dengan
perjuangan hak warga dan kemudian dengan oposisi terhadap perang Vietnam.
Akhirnya isu-isu sosiopolitis diperluas yang mencakup penyalahgunaan kekuasaan
oleh mereka di pemerintahan dan posisi-posisi otoritas instruksional lainnya,
birokratisasi yang terlampau berlebih, serta tidak tanggapnya institusi
birokrasi terhadap kebutuhan manusia.
Dari sejarah diatas, Teori
konflik Dahrendorf muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme
struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik dalam masyarakat. Teori
Konflik adalah suatu perspektif yang memandang masyarakat sebagai sistem sosial
yang terdiri atas kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dimana ada suatu
usaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingan
lainnya. Lahirnya konflik
terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan, sebab setiap orang memiliki
kepentingan dasar sendiri-sendiri. Dalam hal ini setiap orang akan berjuang
dengan keras untuk memperoleh atau terpenuhi keinginan. Dalam hal ini kekuasaan
menjadi sumber utama konflik (perebutan/ kompetisi memperoleh kekuasaan) dan
juga memiliki sifat memaksa (koersif). Karena tidak selamanya masyarakat
bergantung satu sama lain dan bekerjasama untuk menciptakan keseimbangan sosial
seperti dalam teori fungsional structural.
Teori Konflik serta Pemikiran Marx
dan Weber
Ralf dahrendort :
Menurutnya, Konflik merupakan kreasi
individu yang penting dalam masyarakat. Masyarakat berkecenderungan untuk
berkonflik agar perubahan sosial bisa terjadi, yaitu melalui kekuasaan yang
dimiliki untuk mengendalikan orang lain dan memaksa kemauannya meskipun itu
ditentang. Selanjutnya Dahrendorf juga menekankan analisis konflik antara yang
memiliki otoritas dan yang tidak memiliki (diatur). Setiap posisi (pekerjaan)
membutuhkan kemampuan yang berbeda-beda dan Setiap posisi (pekerjaan)
mendapatkan reward yang berbeda-beda pula.
Lewis Coser
Menurut teori Coser, Konflik tidak
saja mengarah kepada perubahan sosial tapi juga mempererat integrasi sosial.
Coser berusaha memahami berbagai segi positif dari konflik selain dampak
perubahan sosialnya bagi keberlangsungan suatu masyarakat. Mengikuti Simmel,
konflik terjadi pada level interaksi sosial antar individu (yang kemudian
berkembang di level struktural). Konflik diawali atau terjadi ketika ada
hubungan yang intens antar individu atau kelompok
Randall Collins
Konflik sosial berpusat pada
perebutan dan pertemuan ‘kepentingan’ yang disertai dengan ‘paksaan’
(kekerasan) dari yang berkuasa kepada yang dikuasai. Teori Collins juga
menekankan pada stratifikasi sosial yang meliputi: kekayaan, politik,
karir/pekerjaan, keluarga, kelompok asosiasi, komunitas, gaya hidup, agama dan
lainnya. Analisis Stratifikasi Sosial Collins diarahkan pada ranah individual
yaitu posisi dalam stratifikasi mempengaruhi emosi, cara berpikir, gaya hidup,
kebiasaan, juga kepentingan.
Dari ketiga tokoh teori konflik
diatas dapat dianalisis menurut mereka penyebab konflik karena perbedaan
kepentingan dalam suatu individu atau kelompok, yang dimana konflik terjadi
karena perbedaan status atau kekuasaan yang dimiliki. Biasanya orang yang
memiliki status lebih tinggi akan berkuasa dibanding orang yang status dan
kekuasaannya rendah. Kekuasaan yang dimiliki digunakan untuk mengendalikan
orang lain dan memaksa kemauannya ( teori Dahrendort dan Collins)
dan menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial, Seperti dalam pemikiran Marx
yang dimana Dia melihat relasi kelas(status) dalam masyarakat kapitalis, yaitu
antar kelas Borjuis dan Proletan. Terdapat juga dengan pemikiran Weber yang
dimana konflik terjadi karena perbedaan kepentingan pribadi. Kepentingan
berkaitan erat dengan Kekuasaan yang dibutuhkan untuk memenuhinya. Weber juga
menekankan pada Stratifikasi Sosial dibangun berdasar berbagai aspek sosial
seperti Agama, Politik dll
Asumsi Dasar
Teori konflik terjadi karena
dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx. Pada saat
ituteori Marx mengenai masyarakat kelas dan perjuangannya, yaitu
terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai
kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial
hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam
proses produksi.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori
konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural
fungsional, yang dimana teori struktural fungsional sangat
mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian
dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam
masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam
masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau
ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi,
koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan
mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini
menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan
subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan
kepentingan. Teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena
adanya konflik-konflik kepentingan. Menurut teori konflik, masyarakat disatukan
dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya
karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat
hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.
Dalam pandangan Weber konflik
terjadi dalam memperebutkan sumber daya ekonomi merupakan ciri dasar kehidupan
sosial. Tetapi disisi lain terdapat juga tipe-tipe konflik menurut Weber,
seperti :
1. konflik
dalam arena politik sebagai sesuatu yang sangat fundamental. Baginya kehidupan
sosial dalam kadar tertentu merupakan pertentangan untuk memperoleh kekuasaan
dan dominasi oleh sebagian individu dan kelompok tertentu terhadap yang lain
dan dia tidak menganggap pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
Sebaliknya Weber melihat dalam kadar tertentu sebagai tujuan pertentangan untuk
memperoleh keuntungan ekonomi. Lebih jelasnya Weber melihat dalam kadar tertentu
sebagai tujuan pertentangan itu sendiri. ia berpendapat bahwa pertentangan
untuk memperoleh kekuasaan tidaklah terbatas hanya pada organisasi- organisasi
politik formal, tetapi juga terjadi di dalam setiap tipe kelompok seperti
organisasi keagamaan dan pendidikan.
2. konflik
dalam hal gagasan dan cita-cita.Ia berpendapat bahwa orang seringkali
tertantang untuk memperoleh dominasi dalam hal pandangan dunia terbuka, baik
itu berupa doktrin keagamaan, filsafat sosial ataupun konsepsi tentang bentuk gaya
hidup kultual yang terbaik. Lebih dari itu, gagasan cita-cita tersebut bukan
hanya dipertentangkan, tetapi dijadikan senjata atau alat dalam pertentangan
lainnya, misalnya pertentangan politik. Jadi orang dapat berkelahi untuk
memperoleh kekuasaan dan pada saat yang sama, berusaha saling meyakinkan satu
sama lain bahwa bukan kekuasaan itu yang mereka tuju tetapi kemenangan
prinsip-prinsip yang secara etis dan filosofis benar.
Dalam hal ini perbedaan antara Marx
dan Weber adalah Marx berpendapat bahwa konflik disebabkan adanya pertentangan
antar kelas dan Weber berpendapat bahwa konflik terjadi karena sudah sewajarnya
dalam kehidupan bermasyarakat pasti akan terjadi masalah-masalah
Isi Teori
Masyarakat sebagai arena dimana
masing-masing kelompok bertarung/ berkompetisi mendapatkan kekuasaan,
ketenangan sosial terjadi ketika satu kelompok berhasil menguasai
kelompok-kelompok yang lain secara temporer. Konflik lebihmenekankan pada
‘Pergantian Kekuasaan’diantara kelompok-kelompok yang saling bersaing, dan terciptanya
perubahan sosial. Konflik kelas masyarakat modern biasanya terjadi karena
perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok. Kepentingan-kepentingan
tersebut seperti dalam perebutan kekuasaan, kehormatan dan lain-lain.Konflik di
era modern ini biasanya terjadi dalam masyarakat kelas atas dengan masyarakat
kelas bawah, seperti dalam teori konflik Marx, yang dimana orang kelas atas
akan lebih berkuasa dibandingkan orang kelas bawah.
Dalam teori Ralf Dahrendorf, dia
membangun teori konflik dengan menggunakan teori perjuangan
kelas Marxian pada masyarakat industry kontemporer. Ralf Dahrendorf
mengatakan bahwa kepemilikan atas sarana-sarana produksi seperti yang
diungkapkan Marx bukan menjadi kepemilikan kekuasaan untuk menguasai orang lain.
Perjuangan kelas dalam masyarakat modern baik dalam masyarakat perekonomian
kapitalis maupun komunis dalam pemerintahan bebas dan totaliter, berada pada
pengendalian kekuasaan. Dahrendorf melihat kelompok-kelompok pertentangan
sebagai kelompok yang lahir dari kepentingan-kepentingan bersama para individu
yang mampu berorganisasi. Yang diuraikan Dahrendorf sebagai proses perubahan
kelompok semu menuju kelompok kepentingan yang mampu memberi dampak pada
struktur. Lembaga-lembaga yang terbentuk dari kelompok tadi berubah menjadi
sarana perubahan yang ada.
Menurut Dahrendorf, Konflik
merupakan kreasi individu yang penting dalam masyarakat. Masyarakat
berkecenderungan untuk berkonflik agar perubahan sosial bisa terjadi, yaitu
melalui kekuasaan yang dimiliki untuk mengendalikan orang lain dan memaksa
kemauannya meskipun itu ditentang. Selanjutnya Dahrendorf juga menekankan
analisis konflik antara yang memiliki otoritas dan yang tidak memiliki
(diatur). Setiap posisi (pekerjaan) membutuhkan kemampuan yang berbeda-beda dan
Setiap posisi (pekerjaan) mendapatkan reward yang berbeda-beda pula.
Namun dalam teori Coser, ia
berpendapat bahwa fungsi positif dari konflik dalam meningkatkan integrasi
sosial antar kelompok ataupun individu. Konflik antara kelompok meningkatkan solidaritas
internal dalam kelompok-kelompok yang berkonflik itu. Konflik di dalam kelompok
mencegah antagonisme yang tidak dapat dihindari yang menandai semua hubungan
sosial, dari menumpuknya sampai pada stu titik dimana hubungan itu sendiri
menjadi terancam
Dalam teorinya, Dahrendorf
menyatakan bahwa ada dasar baru bagi pembetukan kelas, sebagai pengganti
konsepsi pemilikan sarana produksi Marx sebagai dasar perbedaan kelas itu.
Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang menyangkut
bawahan dan atasan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas. Terdapat
dikotomi antara mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dengan kata lain
beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok,
sedang yang lain tidak, beberapa orang memiliki kekuasaan sedang yang lain
tidak. Dahrendorf (1959: 173) mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang
memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dalam tingkat dominasi itu
dapat dan selalu sangat besar. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua sistem
kelas sosial (dalam perkumpulan khusus) yaitu, mereka yang berperan serta dalam
struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi
melalui penundukan. Perjuangan kelas yang dibahas Dahrendorf lebih berdasarkan
kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana produksi. Dalam masyarakat industri
modern pemilik sarana produksi tidak sepenting mereka yang melaksanakan
pengendalian atas sarana itu. Dahrendorf menegaskan bahwa teori konfliknya
merupakan model pluralistis yang berbeda dengan model dua-kelas yang sederhana
dari Marx. Marx menggunakan seluruh masyarakat sebagai unit analisa dengan
orang-orang yang mengendalikan sarana produksi lewat pemilikan sarana tersebut
atau orang yang tidak ikut dalam pemilikan yang demikian. Manusia dibagi ke
dalam kelompok yang punya dan yang tidak punya. Dalam menggantikan
hubungan-hubungan kekayaan dengan hubungan kekuasaan sebagai inti dari teori
kelas, Dahrendorf (1959: 213) menyatakan bahwa model dua kelas ini tidak dapat
diterapkan pada masyarakat secara keseluruhan tetapi hanya pada
asosiasi-asosiasi tertentu yang ada dalam suatu masyarakat.
Dahrendorf berpendapat bahwa
kekayaan, status ekonomi, dan status sosial, walau bukan merupakan determinian
kelas, demikian menurut istilah yang ia pergunakan benar-benar dapat
memperngaruhi intensitas pertentangan. Ia mengetengahkan proposisi berikut ini:
“semakin rendah korelasi antara kedudukan keuasaan dan aspek-aspek status
sosial ekonomi lainnya, semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan
sebaliknya” (1959: 218). Dengan perkataan lain, kelompok-kelompok yang
menikmati status ekonomi relatif tinggi memiliki kemungkinan yang rendah untuk
terlibat dalam konflik yang keras dengan struktur kekuasaan daripada mereka
yang terbuang dari status sosial ekonomi dan kekuasaan.
Menurut pandangan Dahrendorf
dan Coser dalam kehidupan masyarakat, konflik itu tidak dapat dihilangkan,
sebab konflik tersebut berfungsi dalam perkembangan dan perubahan struktur
sosial. Coser juga mengatakan bahwa konflik dapat merupakan proses yang
bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur
social. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih
kelompok. Konflik dengan kelompok lain akan memperkuat identitas kelopok dan
melindunginya agar tidak lebur kedalam dunia social sekelilingnya
Menurut Coser konflik dibagi menjadi
dua yaitu:
1. Realistik:
Konflik digunakan untuk mendapatkan atau memenuhi kepentingan tertentu
2. Non-Realistik:
Konflik hanya sebagai media melepas ketegangan (mencari kambing hitam)
Dalam teori Collins, Konflik
sosial berpusat pada perebutan dan pertemuan ‘kepentingan’ yang disertai dengan
‘paksaan’ (kekerasan) dari yang berkuasa kepada yang dikuasai. Teori Collins
juga menekankan pada stratifikasi sosial yang meliputi: kekayaan, politik,
karir/pekerjaan, keluarga, kelompok asosiasi, komunitas, gaya hidup, agama dan
lainnya. Analisis Stratifikasi Sosial Collins diarahkan pada ranah individual
yaitu posisi dalam stratifikasi mempengaruhi emosi, cara berpikir, gaya hidup,
kebiasaan, juga kepentingan.
Kelemahan/Kritik terhadap Teori
Kritik pertama mengenai teori Dahrendorf yang dimana Dahrendorf tidak sama
jelasnya dengan refleksi ata ide-ide Marxis seperti yang dia nyatakan dan teori
konflik lebih banyak persamaannya dengan fungsionalisme struktural daripada
dengan teori Marxian. Kemudian teori konflik hampir seluruhnya bersifat
makroskopik. Penekanan Dahrendorf pada hal-hal seperti sistem-sistem,
posisi-posisi dan peran-peran menghubungkannya secara langsung dengan
fungsionalisme struktural. Selanjutnya, teori konflik tampak menderita karena
banyak masalah konseptual dan logis yang sama (contohnya, konsep-konsep yang
kabur, tautologi-tautologi) seperti fungsionalisme structural. Teori konflik
juga di kritik karena mnegabaikan ketertiban dan stabilitas serta berideologi
radikal.
Menurut Dahrendorf, Apabila kita
tertarik pada konflik, kita dapat menggunakan konflik, apabila kita ingin
meneliti ketertiban, kita harus mengambil perspektif fungsional. Akan tetapi
pendirian ini tidak memuaskan karena ada tuntunan yang sangat besar terhadap
prespektif teori yang menerangkan konflik dan menerapkan ketertiban.
Adapun karya yang paling dalam pengintegrasian yaitu Lewis Coser tentang fungsi
konflik sosial yang menyatakan bahwa konflik membantu mempererat kelompok
masyarakat dan memperbaiki perpaduan integrasi. Namun dalam hal ini teori
Dahrendorf, ia lebih melihat pada perubahan dari pada keseimbangan, dan
mengungkapkan bahwa teori konflik berskala luas yang paralel dengan teori
dengan teori ketertiban berskala luas dari teori fungsional structural.
Dalam kehidupan sosial, Sosiologi
harus mampu menjelaskan ketertiban , konflik, struktur dan perubahan. Hal itu
telah memotivasi beberapa usaha untuk merukunkan teori konflik dan fungsional.
Teori harus bisa mengarah pada beberapa kesepakatan di kalangan sosiolog
bahwa yang diperlukan adalah suatu teori yang menjelaskan konsensus dan juga
pertikaian. Tidak semua konflik menyebabkan perpecahan, namun konflik juga
dapat menimbulkan integrasi dalam sebuah kelompok, seperti dalam teori coser,
dan dahrendorf, misalnya, melihat mereka sebagai perspektif alternatif yang
digunakan secara situasional. Menurut Dahrendorf, ketika kita berminat pada
konflik, kita harus menggunakan teori konflik; ketika kita ingin memeriksa
ketertiban, kita harus mengambil perspektif fungsional.
Kritik atas teori konflik dan
fungsionalisme structural , maupun keterbatasan yang melekat pada keduanya,
memunculkan berbagai upaya untuk mengatasi masalah – masalah tersebut dengan
merekonsiliasikan atau mengintegrasikan kedua teori (Bailey, 1997: Chapin,
1994: van den Berghe, 1963: Himes, 1966). Selain menyeraang teori – teori
Marxian, mazhab kritis mengkritik masyarakat, seperti bekas Uni soviet, yang
dibangun diatas teori Marxian yang terkesan asli (Marcuse, 1958). Dari
perspektif teoritis, ada kemungkinan memadukan teori konflik dengan
fungsionalisme dengan cara melihat fungsi konflik sosial. Memang, harus diakui
bahwa konflik pun mengandung disfungsi.
Relevansi Teori dan analisis
masyarakat kontemporer
Relevansi teori konflik dapat
dilihat pada peserta didik atau siswa. Yang dimana peserta didik atau siswa
dalam mengikuti pelajaran di dalam kelas, ternyata terdapat konflik batin atau
konflik yang tidak terlihat. Dalam pelajaran peserta didik berusaha mencuri
perhatian guru untuk mendapatkan nilai yang terbaik dalam pelajaran tersebut.
Dalam hal ini biasanya peserta didik berebut melakukan hal-hal yang membuat
guru tersebut kagum kepadanya, seperti dengan menyelesaikan soal yang diberikan
guru di papan tulis dan aktif dalam mengikuti pelajaran. Konflik ini biasanya
terjadi di dalam kelas tetapi ada usaha-usada untuk menjadi yang terbaik.
Dalam mengerjakan soal-soal ujian setiapun peserta didik sebenarnya juga sedang
berkonflik dengan temannya sendiri dalam kelas yang bertujuan untuk mendapatkan
nilai yang terbaik dalam ujian. Namun konflik disini bukan konflik yang
menimbulkan perpecahan, namun konflik ini termasuk indikator hubungan
yang sehat karena konflik yang terjadi dalam lingkup in-group (Lewis Coser)
Bentuk konflik lain terjadi di dalam kalangan perangkat desa, terutama dalam
pemilihan perangkat, seperti kepala desa, yang dimana para calon secara tidak
langung terlibat konflik dalam mendapatkan suara terbanyak. Tidak jarang
konflik ini bisa benar-benar muncul kepermukaan seperti saling memperlihatkan
keunggulan atau kekuasaan dan janji-janji yang dia miliki, biasanya berupa
kampaye kecil-kecilan untuk mempengaruhi banyak orang agar percaya terhadapnya
dan memilihnya. Konflik semakin terlihat jika ada salah satu calon yang
melakukan kecurangan dalam kampanye nya, seperti melakukan politik uang atau
kampanye hitam untuk memperbanyak personil atau anggota dalam pemilihannya,
agar nantinya orang tersebut memenangkan pemilihan kepala desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar