Riwayat Kepengarangan
Mahfud Ikhwan lahir di Lamongan, 7 Mei 1980. Lulus dari Jurusan Sastra
Indonesia, Universitas Gadjah Mada, tahun 2003 dengan skripsi tentang
cerpen-cerpen Kuntowijoyo. Menulis sejak kuliah, pernah menerbitkan cerpennya
di Annida, Jawa Pos, Minggu Pagi, dan di beberapa buku antologi cerpen
independen.Bekerja di penerbitan buku sekolah antara 2005–2009 dan menghasilkan
serial Sejarah Kebudayaan Islam untuk siswa MI berjudul Bertualang Bersama
Tarikh (4 jilid, 2006) dan 4terbit adalah Ulid Tak Ingin ke Malaysia (2009) dan
Lari Gung! Lari! (2011). Novelnya yang ketiga, Kambing dan Hujan, memenangkan
Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Selain menulis dan menjadi editor,
sehari-harinya menulis ulasan sepak bola di belakang gawang dan ulasan film India di dushman duniya ka, serta menjadi fasilitator dalam Bengkel Menulis Gerakan Literasi
Indonesia (GLI).
Sinposis
Betapa kehidupan selalu penuh ironi. Nah ini, hubungan
Mif dan Fauzia ditentang karena mereka berbeda (beda kelompok agama). Sebuah
pertemuan tak disengaja di dalam bus membuat Mif dan Fauzia bertukar alamat
surel. Mereka memang berasal dari satu desa yang sama, Centong, tapi tak pernah
akrab waktu kecil. Bukan hal yang mengherankan, lantaran Mif adalah anak tokoh
Masjid Utara, sedangkan Fauzia anak tokoh Masjid Selatan. Saat itu Mif, yang
sudah lulus kuliah di Yogya, bekerja sebagai editor buku. Sementara itu, Fauzia
kuliah di Surabaya dan sebentar lagi wisuda. Diawali sebuah surel dari Mif,
hubungan dan kisah cinta di antara mereka berdua terjalin.Sejak awal Mif dan
Fauzia tahu, tak akan mudah memperjuangkan cinta mereka. Awalnya, Mif dan
Fauzia sama-sama mengira bahwa Pak Kandar (bapak Mif) dan Pak Fauzan (bapak
Fauzia) adalah dua orang tokoh agama Islam yang berseberangan dan saling
membenci. Yang pertama tokoh Pembaharu, yang terakhir tokoh Nahdliyin. Mif dan
Fauzia kemudian sepakat untuk pulang ke Centong dan berbicara pada orang tua
terkait rencana mereka untuk menikah.Tak dinyana, dari cerita yang dituturkan
Pak Kandar dan Pak Fauzan, dari sebendel surat-surat lama yang disimpan Pak
Fauzan, serta cerita dari Pak Anwar belakangan, Mif dan Fauzia masing-masing
akhirnya mengetahui sejarah dua kelompok muslim yang berseberangan di Centong
sejak tahun 1960-an dan sejarah hubungan Is dan Mat. Mereka akhirnya tahu, bahwa
Is dan Mat bukanlah dua orang yang saling membenci. Bukan, mereka adalah dua
orang sahabat bagai saudara yang terpaksa berada di posisi yang berseberangan,
dan terpaksa tak saling menyapa selama puluhan tahun.Tahulah kini Mif dan
Fauzia, yang harus mereka hadapi bukan sekadar dua orang tua yang telah lama
tak saling menyapa, melainkan dua kelompok penduduk Centong: orang Utara dan
orang Selatan."Dan, apa salahnya berbeda? Tuhan menciptakan makhluk juga
berbeda-beda... Dan, mereka memang menjadi dua orang yang berbeda. Tapi, karena
apa yang kalian lakukan--atau apa yang kalian tidak lakukan--anak-anak kalian
jadi dua orang yang berbeda sekaligus saling ingin melenyapkan." (Anwar,
hlm. 338)
***
Segi Non Fisik
Wajar jika saya awalnya mengira novel pemenang pertama sayembara menulis novel DKJ 2014 ini hanya berisi perjuangan sepasang manusia memperjuangkan cinta terlarang akibat pertentangan dua keluarga. Wajar jika fantasi saya langsung melayang ke kisah Romeo & Juliet dengan keluarga Capulet vs Montague-nya. (Judul novel ini pun memiliki pola.) Eh, ternyata, saya terkelabui. Kisah cinta terlarang Mif & Fauzia hanyalah lapisan epidermis dari organisme novel ini. Atau, ia hanyalah pembuka kaleng yang digunakan oleh penulis untuk membuka kaleng berisi kisah sejarah Centong dan dua kelompok yang berseteru, yang menempatkan Is dan Fauzan sebagai pentolan. Kisah Mif & Fauzia hanya diceritakan sepotong-sepotong, di bagian awal, pertengahan, dan akhir. Sebagian besar novel ini berisi sejarah dan dokumentasi dinamika sosial penduduk Centong. Oleh karena itu, tak adil bila saya menggugat penulis, mengapa Mif dan Fauzia, tiba-tiba memiliki keinginan menikah, padahal hubungan mereka tak banyak dibahas. Apakah saya menyesal karena terkelabui? Tidak, malah saya menjadikan buku ini salah satu favorit saya. Saya bersyukur karena penulis memfokuskan ceritanya pada sejarah kultural dan sosial Centong yang kompleks, yang nantinya memengaruhi hubungan Mif dan Fauzia. Saya bersyukur karena novel ini tak jadi roman yang sekadar berisi percintaan terlarang dua manusia.
Ketika membaca kalimat demi kalimat yang mengalir lincah dan dapat
memerangkap rasa penasaran saya (meski saya sudah tahu sejak awal kalau
kisahnya akan berakhir bahagia dan tidak ada teka-teki eksplisit yang minta
dipecahkan) akan bagaimana nantinya hubungan Is dan Mat berakhir. Saya tahu
kalau mereka akan berdamai, tapi bagaimana caranya? Lalu, apa sebenarnya yang
menyebabkan mereka berdua terlihat saling membenci? Apakah sesederhana alasan
cinta segitiga Is-Yatun-Mat di masa lalu? Nah, itulah yang bikin novel ini
menarik. Cara penulis memvisualisasikan setiap kejadian di Centong sungguh
hidup dan "dekat", membuat saya seolah menjadi saksi mata langsung
atas sejarah Centong. Dinamika kehidupan beragama penduduk Centong sangat
menarik dikaji. Bagaimana awalnya mereka beragama sekaligus menyembah pohon
yang disebut kukun kawin. Bagaimana tradisi orang-orang tegalan kala masa
menanam dan panen. Bagaimana desa santri itu, yang awalnya semua kegiatan agama
berpusat di satu masjid--yang nantinya disebut Masjid Selatan--setelah
kemunculan Cak Ali dan para pengikutnya, kemudian bercabang dua. Kelompok
Muhammadiyah di Utara dan NU di Selatan. Bagaimana penulis mengeksplorasi
detail kejadian yang berpengaruh terhadap dinamika orang Centong. Bagaimana
penulis dengan piawai menyelipkan humor (yang banyak terdapat di bagian kisah
masa remaja Is dan kawan-kawan) dalam roman yang kadang bikin terharu ini. Meski
penulis menggambarkan bahwa kedua kelompok di Centong itu sangat bertentangan,
ada elemen-elemen yang secara malu-malu menyatakan bahwa sebenarnya mereka
merindukan untuk bersatu. Tampaklah dari narasi di halaman 263-265, yang
mengatakan, "Tidak ada enaknya terdapat dua hari raya di desa sekecil
Centong. Sungguh. Jika ditanya, semua orang, baik orang Selatan maupun orang
Utara, akan bilang tidak suka. "Penulis sendiri menghadirkan elemen yang
sama di antara dua kelompok itu, mungkin sebagai simbol bahwa sebenarnya mereka
adalah satu: sama-sama umat Muslim. Nama guru Is, yang menggerakkan
pembaharuan, bernama Cak Ali. Nama salah satu tokoh yang memengaruhi pemikiran
Mat, yang menentang pembaharuan, bernama Ali juga (Ali Qomaerullaeli). Meski
kisah ini berpusat pada sosok-sosok lelaki (Is, Mat, Cak Ali dan para
pengikutnya, Pak Kamituwo dan kerabatnya), penulis menunjukkan bahwa sekalinya
perempuan diberi kesempatan bicara, ia mampu membalik keadaan sedemikian rupa.
Salah satu adegan favorit saya adalah ketika Bu Sri, ibu Mif, menyarankan
putranya untuk meminta bantuan Pakde Anwar.
"Pakdemu itu... suaminya... Bude Siti. Bude
Siti... tak lain... adalah adik Pak Fauzan. Jadi... anakku... cah ngganteng...
Pakde Anwar-mu itu... sekaligus juga... Paklik Anwar-nya Fauzia." (Bu Sri,
hlm. 277-78)
"... seorang ibu tak akan bisa membiarkan anaknya menyelesaikan
masalahnya sendirian. Ia selalu ingin ambil bagian. Semampunya.
Sebisanya." (Bu Sri, hlm. 278)
Kisah memang berpusat pada Is dan Mat, serta Mif dan
Fauzia, tapi penulis tetap memberi porsi yang pas untuk mengeksplorasi tokoh-tokoh
lainnya, seperti Pak Anwar. Barangkali, tokoh favorit saya adalah Pak Anwar.
Berkat dia, akhirnya dua orang yang sekian lama tak saling menyapa bisa punya
alasan dan keberanian untuk saling berbicara lagi. Pak Anwar adalah simbol
pemersatu. Di masa lalu, ia pun tak segan menyeberang dari Utara ke Selatan,
karena niat tulusnya untuk mengajar di madrasah. Lalu, sebagai orang Utara, ia
menikah dengan Bu Siti, orang Selatan. Namun memang tak mudah jadi orang yang
sekaligus Utara dan Selatan seperti Pak Anwar. Ia tak diterima dua-duanya, dan
akhirnya minggat ke Brunei Darussalam. Tindakan ini bisa dianggap pengecut,
sih. Tapi setidaknya, Pak Anwar menebus kepengecutannya itu dengan
mempertemukan kembali Is dan Mat.
***
Segi Fisik
Lebih menarik lagi ketika penulis menakdirkan Is dan
Mat, yang awalnya sahabat, terpaksa berada di pihak yang berseberangan. Itulah
awal munculnya istilah "kambing dan hujan", seperti petikan yang saya
tulis di bagian awal resensi ini. Meski demikian, saya susah menangkap mengapa
kambing dan hujan dijadikan simbol dua hal yang berseberangan, yang susah
dipertemukan. Apakah karena kambing tak suka hujan? Lalu, kenapa kover novel
ini bergambar sebotol susu kambing ?. Ternyata memang kambing tak suka hujan,
seperti saya baca di sini. Sementara itu, makna gambar sebotol susu di kovernya, mungkin seperti
yang coba diterjemahkan oleh Sri Hadriana di artikel yang pernah saya baca. Mahfud
menguraikan kisah yang sebenarnya berat dengan bahasa yang encer, sederhana,
mudah dicerna, seperti susu yang berwarna putih itu. Namun, sarat nutrisi. Kambing
dan hujan mewakili kelompok NU dan Muhammadiyah di Centong. Oleh karena saya
sebelumnya belum tahu bagaimana sejarah munculnya dua kelompok tersebut, apa
yang diceritakan oleh novel ini memberi pengetahuan baru bagi saya. Kisah NU
dan Muhammadiyah ini mengingatkan saya akan pertentangan Katolik dengan
Protestan yang menyebabkan keduanya menjadi agama berbeda. Yang satu kelompok
"tua", yang lain kelompok "muda" alias pembaharu. Kualitas cetakan yang lumayan bagus dengan warna yang menarik di
bagian cover, kemudian jenis kertas yang digunakan pun sudah memadai, sayangnya
bentuk tulisan yang kurang menarik dan terkesan monoton (membosankan). Jika di
dalam novel ini ditambahkan gambar mungkin akan lebih menarik perhatian
pembaca, karena novel ini isinya sangat padat tanpa ada celah.
Penutup
Tak salah jika novel ini menjadi pemenang pertama
sayembara menulis novel DKJ 2014. Dibandingkan novel pemenang kedua dan ketiga,
novel ini sangat mencolok unggulnya. Namun, ada teman yang bilang kalau Ulid Tak
Ingin ke Malaysia lebih menarik ketimbang Kambing & Hujan. Baiklah,
saya tak tahu benarkah itu sebelum membaca Ulid sendiri. Terima kasih, Mahfud Ikhwan, yang telah mengarang novel Kambing
dan Hujan membuat pengetahuan saya bertambah mengenai NU dan Muhammadiyah.
Terakhir, novel ini harus dibaca dan sangat layak untuk dibaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar